Diawali dari Keresahan Menuju Kemandirian
Tentu saja tidak singkat sejarah awalnya terbentuk sekumpulan untuk merawat sekedar amaliyah di wadah sendiri. Walupun pada dasarnya berdiaspora ialah alternatif kaderisasi semata. Kita semua pasti tahu kaidah fiqh yang satu ini: al-muhafadzotu 'alal qodimissholih wal akhdzu bil jadiidil ashlah artinya yakni memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik. Kaidah fiqh tersebut harus santer di kalangan anak muda ahlussunnah wal jama'ah agar tidak selalu menggunakan teori-teori barat yang dibanggakan dan terstigma keren.
Peradaban anak muda di mulai dengan kebebasan berfikir tanpa ada paksaan dan mengekang. Namun tidak berhenti di situ saja, jika pilihannya tidak ingin dikekang dan mandiri maka generasi penerus harus mampu mandiri dalam merawat amaliyah yang kesemuanya ialah bernilai kemaslahatan dari segi sosial.
Diawali pada tahun 2018, kalangan suatu gerakan pemuda di Kota Metro Lampung yang berpusat di Salemba, Jakarta memiliki keresahan yang kemudian timbul beberapa gagasan untuk menjawab semua keresahan. Beberapa gagasannya yaitu mencoba merawat bahasan kitab klasik yang dimiliki oleh Pondok-pondok Pesantren modern sebagai khasanah keilmuan ahlussunnah wal jamaah. Selain itu, berupaya konsisten pada amaliyah untuk rutinan membaca maulid nabi SAW dengan diiringi unsur kesenian yakni hadroh. Harus dipertegas bahwa keresahan yang kemudian menjadi gerakan ini bukan lahir dari golongan struktural melainkan dari golongan yang membikin suatu komunal bertujuan untuk menuju perubahan yang lebih baik.
Singkat penulis, pertama kali eksis komunal ini pada tanggal 20 November 2018 dengan mengadakan malam cinta nabi SAW di Jl. Satelit yang bertema "khidmat di organisasi dengan sholawat menuai syafaat". Pada 20 November itu hadir salah satu pendahulu yakni akrab dengan panggilan Mas Sukemi yang memimpin acara malam cinta nabi SAW. Acara tersebut dirancang dengan penuh persiapan bahkan sebelumnya sudah sering bercengkrama dengan kulit binatang yang disatukan dengan kayu berwujud alat musik lalu membentuk pimpinan komunal yakni M. Ali Hasyim karena beliaulah yang tertua dan pantas untuk bertuah. Selain pimpinan, terdokumentasi juga para pendiri-pendirinya seperti Febri Wahyu Saputra, M. Fatih, Ahmad Nashirudin dan Andi Kurniawan. Selain mampu merawat keagamaan di unsur kesenian, komunal ini dapat juga bergerak di kajian sejarah Islam yang berhasil diadakan di Masjid Adzkiya. Bersama M. Fatih kajian tersebut terlihat menarik dan membuka cakrawala keilmuan sejarah pada zaman nabi hingga periode islam harum di Nusantara tercinta.
Tidak mulus begitu saja untuk konsisten merawat budaya-budaya baik, komunal ini sempat redup kehilangan ghirah bagaikan hewan tak lahap memakan mangsanya. Padahal pendahulu selalu meletakkan harapan besar pada gerakan ini untuk menegaskan pilihan untuk independen. Tak hilang ditelan waktu, mau tidak mau komunal ini harus tetap digaungkan agar ada penerus yang tidak terstigma pada dominasi akal pikiran dan teori sebalah kiri saja. Merdeka!
Komentar
Posting Komentar